Friday, December 30, 2005

Akhir Tahun

Di luar sana sudah banyak orang yang siap-siap merayakan berakhirnya tahun ini. Mungkin sebuah ekspresi kelegaan dan keberhasilan melalui satu tahun ini dengan baik, selamat dan dan mungkin mendapatkan raihan-raihan tertinggi selama hidup. Ribuan pesta bakal digelar di seluruh penjuru dunia untuk merayakan tahun yang baru dan penuh harapan serta meninggalkan tahun lalu yang mungkin penuh dengan kegagalan. Namun bagi beberapa orang, berlalunya tahun adalah berlalunya kebahagiaan. Ribuan orang mungkin akan pensiun, ribuan rakyat indonesia bahkan akan tambah miskin karena akan ada kenaikan BBM lagi, kayak seorang pelacur yang kecewa ketika mentari terbit, sementara dia belum mendapatkan seorang pelangganpun.
Di sini aku masih bingung mau melewatkan tahun baru dengan siapa, dimana, dengan cara apa dst. Satu-satunya yang menghibur adalah siaran sepakbola liga inggris. Mungkin nonton bola akan menjadi kegiatanku untuk melewatkan detik-detik pergantian tahun. Malam tadi, ketemu beberapa teman lama jaman kuliah dulu. Ada Deni "Mahaguru" Hariandja yang udah menjadi redaktur di majalan men'shealth, trus ada bule Australia si Dave McRae (nama jawanya: Joko Musta'in) yang sekarang lagi kerja di International Crisis Center sambil menulis disertasinya tentang konflik di poso. Ada juga Diane Zhang, pacarnya si Dave, yang jadi legal&finance officer di worldbank. Ada si gendut hotman, ada ian, en aris. Ngumpul di dekat plaza menteng, sambil makan junkfood kaki lima, mengingat masa-masa dahulu, romantisme, katanya. Tiap revolusi pasti membutuhkan romantisme, namun tidak semua romantisme dapat menimbulkan revolusi, begitulah kata aris. Baru malam itu aku jalan kaki dari Plaza Indonesia ke Plaza menteng, kata si bule Dave jaraknya deket, dan aku ngotot klo jaraknya jauhhhh. Tapi setelah bener-bener jalan, ternyata gak ada 20 menit. Lumayan gak jauh juga, sekalian menikmati tawa dan sendau gurau.
Newyear eve kayaknya akan aku lalui di kos ajah, nonton tivi atau baca novel, atau bikin laporan kerja buat minggu depan, atau maen game sepuasnya. Semoga tahun depan akan lebih baik bagi kita, langit menjadi semakin biru, bumi menjadi semakin hijau, dan air menjadi semakin jernih. Amiiiin.

Monday, December 12, 2005

10 Desember

10 Desember '96, sekolompok anak muda yang punya smangat untuk Indonesia yang lebih baik berkumpul di selasar Fisipol UGM. Dari sebuah pemikiran, maka muncullah sebuah student club yang diberi nama "Freedom", yang juga akan menjadi nama sebuah "selebaran" yang berisi ide-ide pemberontakan terhadap kekuasaan Suharto. Ide-ide kuat seperti kritik terhadap PEMILU waktu itu, pelaksanaan HAM dan kemardekaan bagi Timor Leste pernah dimuat pada "selebaran" itu. Bahkan kabarnya "selebaran" itu menjadi koleksi kejaksaan tinggi setempat.
10 Desember 1997 kami merayakan hari deklarasi hak asasi manusia sedunia dan merayakan ultah pertama "Freedom". Sebuah demo yang waktu itu sangat tabu, kami gelar. Demonstrasi yang seharusnya hanya bisa di dalam kampus, kami usung keluar. UGM tak perlu lagi mendengar suara kami, giliran masyarakat yang mendengarnya. Berbekal taktik kucing-kucingan dan kelihaian Korlap, kami berhasil membawa sepasukan demonstran ke depan pasar terban. Namun di sana kami dihadang Pak Polisi. Kuldesak (gak ada jalan keluar), dan terpaksa kami berorasi di sana. Jalan itu diapit pertokoan yang sangat rapat, sehingga saat jalan didepan dan dibelakang kami sudah diblokir polisi, tidak ada jalan lain untuk melarikan diri. Penangkapan tinggal menunggu waktu. Dan benar, saat polisi bergerak dengan pentungannya, semua panik dan bubar, namun tetap tidak ada jalan keluar. Dua buah truk polisi penuh dengan tangkapan. Hanya sedikit yang berhasil lolos. Dan disitulah aku mulai melihat bahwa polisi pun tega memukulkan "kenut"nya ke wanita muda yang berjilbab. Aku yang kebetulan tidak memakai atribut demonstran, termasuk yang berhasil lolos (hanya dengan cara bersandar pada sebuah mobil mewah yang kebetulan parkir, dan pak polisi mungkin mengira bahwa aku pemilik mobil itu hehehe). Sampai di kampus, aku coba mencari kawan lainnya, dan sial, seorang teman karib terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena terkena pentungan polisi. Tapi dari sanalah, keberanian kami muncul dan mendorong demo-demo besar lainnya yang ujungnya juga menyumbang runtuhnya kekuasaan Suharto. Suharto jatuh, kami pun kehilangan smangat, pikiran dan kesatuan pandang sudah bergeser, tiap orang punya pikiran sendiri-sendiri, walaupun masih sering bersama, kami menjadi lebih pragmatis. Dan aku memilih menjadi yang paling pragmatis dan menjauh dari komunitas Freedom yang bisa dikatakan "hidup segan, mati tak mau".
10 Desember 2005, seorang kawan lama (anggota Freedom juga) ngajak ngumpul, aku membayangkan indahnya idealisme yang pernah kami bangun walaupun ambruk tapi kupikir masih berbekas dan membentuk jiwa kami sampai saat ini. Namun sayang, baru 11 Desember 2005 kami bisa kumpul. Aku, Houtman, Ian (plus istri dan anaknya) berkunjung ke apartemen Aris (dan Citra, istrinya). Ah pemuda Godean ini borju juga, pikirku. Tapi itu kan pilihan hidup. Selepas dari apartemen Aris kami menyambangi Ade di Tangerang. Cewek yang getol dengan ide feminis itu sekarang udah berkeluarga dan punya tiga anak, Laras, Indi dan Atar. Hal yang tak bisa kubayangkan 9 tahun yang lalu saat kami bersama-sama membangun Freedom. Seorang kawan yang dulu sangat getol dengan sosialisme komunisme, sekarang kabarnya menjadi redaktur majalah hedon pria. Hhhhhh entahlah ideologi memang hanya sebatas nasi. Mana yang bisa memberi kita hidup dan kenikmatan, itulah yang kita pilih. Dan akupun gak jauh berbeda.
Tapi tidak ada salahnya kita sedikit mendengar kata nurani dan memulai dari yang paling sederhana, bukannya uang yang kita cari, tapi kenikmatan yang bisa dihasilkan oleh uang itu. Dan mungkin kenikmatan itu bisa lahir saat kita sering berbagi, saling mengasihi, saling mencintai, sebelum kita semuanya mati. Dan tidak ada hal yang lebih penting dari nyawa manusia, kecuali Allah SWT.

Monday, December 05, 2005

Berhak Marahkah Aku?

Baru punya jenggot aja, udah banyak orang yang ngeledek. Dikatain sok alim lah, teroris lah, bahkan ada yang tega mengatai bahwa aku mirip kambing - hanya gara-gara aku punya jenggot -. Kalau ditanya kenapa harus miara jenggot, maka dengan simple kujawab untuk ibadah, sedikit mencontoh sunnah Rasulullah SAW, abisnya dari begitu banyak sunnah Rasulullah SAW, baru yang beginian yang aku sanggup menjalankannya. Eh, malah dibilang sok - sok an. Masak aku harus ngejawab biar mirip Zeus hehehe. Dan gilanya lagi, yang melancarkan ledekan seperti itu adalah sesama muslim. Terlepas dari perbedaan pendapat tentang wajib / sunnah / mubah nya memelihara jenggot di kalangan kaum muslim, kan belum ada peraturan atau norma atau pranata yang melarang kita untuk memelihara jenggot, trus kenapa orang-orang itu pada sirik gitu melihat aku pake jenggot? Itu kan hak bagi tiap orang untuk mengekspresikan diri atau bahkan mengekspresikan kepercayaannya. Coba aja ledek orang budha yang pake jubah dan dicukur gundul kepalanya. Identitas keagamaan sebagai manifestasi hubungan manusia dengan Tuhan mestinya harus dilindungi oleh negara, selama manifestasi itu tidak mengancam pemeluk agama lain dan bisa membahayakan manusia. Kenapa toleransi di negeri ini begitu memudar. Jangankan antar umat beragama, sesama agama saja terjadi saling ledek seperti ini. Jadi wajar saja kalau terjadi kasus SARA di berbagai daerah.
Bagi beberapa orang, ledekan yang mengatakan muslimin yang berjenggot mirip dengan kambing mungkin bisa sangat berbahaya bagi "stabilitas" negara. Coba aja lontarkan ejekan seperti itu di depan FPI, bisa bikin ribut jakarta deh. Namun untuk sebagian orang, cukup menanggapinya dengan bersabar, toh si peledek itu sesama Saudara muslim kita sendiri, kalau kita sabar mungkin Allah akan lebih mencintai kita, dan kita do'akan semoga si peledek segera menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah bukan hanya menghina si empunya jenggot, tapi juga meledek sunnaah Rasulullah SAW yang berarti juga meledek Allah.
Dalam perjalanan pulang dari kantor, aku benar-benar berfikir tentang apa sebabnya ledekan itu sempat terlontar dari mulut rekan kerjaku yang sesama muslim. Haruskah aku marah dan menunjukkan beberapa hadits tentang sunnah berjenggot? Lama aku berfikir dan aku menarik beberapa kesimpulan. Pertama adalah fobia akan terorisme; kebanyakan teroris memakai jenggot, dan mungkin dalam alam bawah sadar mereka sebenarnya sudah terbentuk rasa takut itu dan termanifestasi dalam ledekan. Kedua, ketakutan akan hilangnya nilai; selama ini lelaki yang baik dan "ganteng" (terutama dalam masyarakat industri) adalah lelaki yang klimis nggak berjenggot, nggak berkumis dan berambut cepak serta berpakaian rapi. Jadi lelaki yang berjenggot dianggap gak ubahnya punkers yang pake tato, piercing, dan mohawk hairstyle, harus dijauhi karena gak umum. Ketiga, ego kultural; merasa bahwa budaya yang dipunyainya adalah yang terbaik dan menampik budaya lain yang tidak sesuai dengan budayanya, pernah dengar ungkapan"islam yang njawani atau jawa yang islami" kan?. Keempat iseng sekedar fenomena, gak perlu ada sebab atau akibat.
What ever lah... walaupun dalam hati aku sempat marah dan tak bisa menerima perlakuan mereka, tapi sesampai di rumah aku ngerti bahwa itulah resiko hidup yang mesti dijalani, jangan cuma menggerutu tapi segera ambil sikap, dan aku memilih untuk membiarkannya berlalu, dan menyerahkan kepada Sang Penguasa Waktu untuk menunjukkan kebenaran kepada si peledek itu. Don't angry, be happy!