Wednesday, October 31, 2007

Sisa Id

baru kali ini, aku berlebaran berbeda hari dengan keluarga besar kakek. di keluarga dimana ayah dan ibu adalah "penganut" muhammadyah, baru kali ini pula kami berlebaran berbeda hari dengan ormas islam itu.
baru sholat id tahun ini aku mengikuti sholat id yang ada sambutannya dari pejabat pemerintahan. niatnya memang bagus yaitu membari sambutan sambil meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat selama setahun terakhir. dan celakanya yang memberikan sambutan adalah seorang wanita (bukan gender lho ya). dalam hati aku berfikir apa tidak sebaiknya sambutannya dibacakan aja oleh yang laki-laki.
baru sholat id kali ini pula aku melihat sang khotib duduk di tengah-tengah khotbah (layaknya khotbah jum'at), biasanya sih tidak begitu.
tapi tetap ada ketupat, opor ayam, kolak labu, sambel goreng krecek, krupuk udang dan cemilan-cemilan... pokoknya nyam-nyam. nah yang baru adalah makan opor menthok (sejenis angsa kecil) yang rasanya ciamik, yang ini disediakan di tempat budhe. terus maih ada manisan labu dan manisan pepaya, trus wajik bandung (yang udah lama banget gak pernah kutemui), kripik gadung (ini juga langka), dan jenang alias dodol (huh... yang namanya dodol, mau dicampur pake coklat, duren atau bahkan ganja..tetep aja dodol, dan aku sangat membencinya).
lebaran ini juga gak bantak ketemu dengan saudara dan teman-teman. aku sedikit berpendapat lain bahwa lebaran tidak harus diiringi dengan berkunjung ke sanak saudara, juga ke teman-teman. untuk teman-teman, aku hanya ketemu adi yang baik hati main ke rumah, dan ketemu rifki. aku maen ke tempat rifki karena mendengar bahwa dia baru saja sakit dan harus opname di rumah sakit (smoga setelah sembuh ini, gak kumat lagi sakitnya... jaga kesehatan ya!!!). sempat mencicipi sebutir matoa di rumah rifki.
ada banyak perubahan dalam lebaran ini, walaupun masih ada beberapa tradisi yang masih tetap sama. dan nampaknya perubahan memang tidak bisa dihindari.

Wednesday, October 03, 2007

Subuh

Setelah takbir, alunan ayat Qur'an berkumandang dari bibir Sang Imam. Diiringi kicau burung yang tak sabar menunggu terbit mentari. "... jika kau menghitung nikmat Allah, maka kau tidak dapat menghitungnya". Dan entah mengapa tangis itu muncul, menemaniku hingga salam. Dan saat mentari terbit, dia terbit dengan cerah, tapi tidak terasa panas di kulitku