Sunday, July 16, 2006

Pedasnya Pindang Patin

Lelaki setengah baya berkulit gelap itu segera menghampiriku, sesaat setelah aku keluar dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin. Mungkin jenggot dan tas merah yang kutenteng menjadi pertanda jelas baginya untuk mengenaliku. Kami memang belum pernah berjumpa sebelumnya, dia bertugas untuk membawaku ke sebuah kota kecamatan penghasil batubara. Sejenak bertegur sapa, saya pun dibawanya berkendara dengan sebuah SUV silver melewati hamparan tanah tak terawat antara bandara sampai ke pusat kota Palembang.
Saat perut mulai lapar, aku mengajaknya untuk mencari tempat makan yang cukup "representatif". Dibawanya aku ke sebuah resto bergaya khas palembang, sebuah rumah panggung dari kayu besi yang berdiri di atas sebuah kolam ikan, atapnya pun terbuat dari anyaman daun sejenis kelapa atau palem. Pak Rahmat tidak bersedia untuk menemaniku makan walaupun sudah kupaksa sekuat hati. Akhirnya dengan aagak kikuk, karena baru pertama kali ke Palembang, kupesanlah menu pindang patin, sebuah masakan yang kukenal lewat sebuah acara kuliner di tv, walaupun aku belum pernah mencicipinya sekalipun.
Disajikan dalam mangkuk gerabah, saat tutup dibuka, aku pun mencium bau yang sangat kuat, kombinasi antara pedas, asam dan wangi kemangi. Dan saat sendok pertama mampir ke mulutku, indera di lidah mengirim pesan yang tidak jauh beda dengan apa yang dikirim oleh hidung. Pedas yang berasal dari rempah dan cabai, wangi yang berasal dari daun kemangi dan daun bawang, asam yang bearasal dari nanas atau mungkin cuka dan buah asam, dipergurih dengan santan dan lembutnya daging ikan patin. Benar-benar memancing selera makanku, tapi aku cukup tahu diri untuk tidak menyantap kuah pindang terlalu banyak, cukup menikmati sepiring nasi putih, ikan patin dan beberapa sendok kuah pindang patin, sekedar untuk memperlancar masuknya nasi dari mulut ke perut. Aku gak cukup berani membiarkan lidah memerah karena kepedasan dan akhirnya...mencr... Walaupun sangat sedikit kuah pindang patin yang kucicipi, ternyata aku tetap kepedasan, wajah memerah dan bibir serasa keluar asapnya, seperti habis dipanggang trus diguyur ama air es whoaaaaaaaa, hingga perlu dua gelas es teh untuk mengobati pedasnya pindang patin. Setelah teguk terakhir es teh manis kuhabiskan, kubayarlah makan siangku ditambah beberapa bungkus rokok untuk Pak Rahmat. Dan siaplah kami untuk meneruskan perjalanan ke Tanjung Enim. (sayang, ternyata Pak Rahmat pun tidak merokok..., hihihi kayaknya uangku tidak berguna bagi dia)